PRO TALK SERIES #01 – PARADIGMA KOTA & ARSITEKTUR DI MASA DEPAN : BAGAIMANA POSISI INDONESIA? BAGAIMANA POSISI IKN?
Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) bersama-sama dengan Ikatan Ahli Perencanaan – Indonesia (IAP), Ikatan Ahli Rancang Kota Indonesia (IARKI), Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (IALI) dan Green Building Council Indonesia (GBCI) bersepakat untuk menyelenggarakan ProTalk Series sebagai platform diskusi bersama lintas profesi. Platform ini merupakan sebuah gerakan bersama untuk memformulasikan Kota dan Arsitektur di masa depan yang berkelanjutan (sustainable), melalui perspektif berbagai disiplin ilmu yang terkait perencaaan dan perancangan lingkungan binaan.
Pro Talks Series awal akan dilaksanakan pada bulan Januari hingga Maret, setiap 2 minggu sekali pada hari Rabu. Dimulai pada penyelenggaraan perdananya, Rabu 26 Januari 2022 secara luring dan daring, di Le Meridien Hotel, Jakarta. Hadir sebagai pembicara kelima Ketua Umum dari masing-masing Asosiasi tersebut yaitu Ar. Georgius Budi Yulianto, IAI AA (IAI), Dr. Phil. Hendricus Andy Simarmata, ST, MSi (IAP), Sibarani Sofian MUDD, B. Arch LEED AP (IARKI), Dian Heri Sofian ST, MT, IALI (IALI) dan Ir. Iwan Prijanto MM GP (GBCI). Bertindak selaku moderator Andini W. Effendi.
Pada sambutannya, selaku host Pro Talk Seies 01, Ketua Umum IAI mengungkapkan. “Platform Pro Talk akan dilakukan bersama secara menerus setiap tahunnya. Kegiatan ini diharapkan dapat memperkuat posisi 5 Asosiasi yang memiliki tugas dan fungsi strategis maupun normatif sebagai wakil public society dan guardian of public interests, sekaligus memberikan masukan-masukan terbaik untuk mengawal pembangunan di Indonesia.”
Peran dan Eksistensi Profesi
Perencanaan sebuah kota khususnya ibukota negara tentunya merupakan momen penting yang harus dilakukan sebagai sebuah proses terpadu oleh seluruh pihak yang berkompeten sesuai bidang-bidang terkait. Karena tidak saja sebagai sebuah produk, keberadaan ibu kota Negara juga tentunya akan tercatat dalam sejarah sebagai sebuah proses peradaban bangsanya.
Seperti yang disampaikan oleh Sibarani Sofian (Ketua Umum IARKI), Membangun kota bukan hanya membangun fisik elemen-elemennya saja (Gedung, jalan, infrastruktur, taman, dan lain-lain), tetapi membangun suatu peradaban yang terbentuk dari ruang binaan. Seni dan teknik membentuk ruang binaan adalah peran dari berbagai disiplin ilmu ruang binaan yang harus dilakukan oleh profesional terkait secara terintegrasi dan prosedural. Perkotaan adalah ilmu terapan yang kompleks dan non-linear, diperlukan kepakaran, rekam jejak dan jam terbang tinggi untuk bisa memberikan advis terbaik. Jangan hanya bertumpu pada masukan politis dan/atau estetis satu orang/pihak yang mungkin tidak paham ilmu perkotaan.
“Wisdom nenek moyang kita mengajarkan bagaimana kita berinteraksi dan menghormati alam, bukan menguasai dan mengalahkan alam tapi hidup berdampingan menjadi bagian dari alam. Wisdom itu perlu kita sampaikan kembali dengan cara yang modern. Melalui parameter-parametar dan monitoring system maupun teknologi. Hal ini butuh sumberdaya manusia yang penuh kesadaran dan paham. Kita punya kompetensi untuk membangun ke arah sana. Dan pelaku-pelakunya harus profesional-profesional yang kompeten di bidangnya.” Tegasnya.
Hal ini selaras dengan yang disampaikan oleh Georgius Budi Yulianto (Ketua Umum IAI), “Negara kita memiliki parameter dan kriteria pembangunan yang tertuang dalam UU dan Peraturan yang dikeluarkan Pemerintah. Seluruh proses perizinan pembangunan harus memenuhi parameter tersebut. Banyak orang bisa mendesain, tapi yang bisa mempertanggung jawabkan karya tersebut secara hukum adalah profesional yang sudah teregistrasi dan berlisensi.”
IKN Dalam Paradigma Kota & Arsitektur Masa Depan
Seiring dengan tren global tentang upaya Build More with Less, maka perencanaan kota di masa depan dituntut untuk lebih memperhatikan aspek-aspek keselarasan antara manusia dengan lingkungannya. Mengarah kepada compact city yang mengutamakan pembangunan kota secukupnya hingga seminimal mungkin berdampak pada lingkungan.
Seperti yang diungkapkan Iwan Prijanto (Ketua Umum GBCI), “Setelah masa kemerdekaan hingga Orde Lama ada aspirasi besar untuk membenahi dan membangun wajah koridor utama ibukota Jakarta seperti gedung MPR/DPR, Monas, GBK, dan sebagainya semegah mungkin dengan pendekatan arsitektur modern, untuk membuktikan bahwa kita bisa setara dengan bangsa-bangsa lain. Perencanaan dan perancangannya dilakukan oleh arsitek-arsitek profesional pada era tersebut.—Pada masa sekarang dan ke depan kota-kota dunia bukan lagi berlomba untuk menunjukkan kemegahan melainkan menunjukkan kecerdasan dan kemuliaan khususnya dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya. Sustainability dan penurunan emisi serendah mungkin menjadi tujuan utamanya. ‘Build more with less’ menjadi mantra dan kecanggihan baru dalam mencapai keagungan.”
Menyambut pernyataan tersebut, Georgius Budi Yulianto (Ketua Umum IAI) mengatakan, “Terkait bangunan Istana Negara dan bangunan utama lainnya di IKN, yang akan dibangun adalah National Buiding bukan National Sculpture. Building/ bangunan memiliki fungsi dan standar yang harus dipenuhi, sangat berbeda dengan sebuah patung/sculpture yang lebih fokus pada estetika. Penggunaan energi serta material yang bertanggungjawab adalah salah satunya. Selaras dengan hal tersebut tren pembangunan dunia saat ini menuju tren NetZero emisi karbon. Dimana bangunan menyumbang nilai yang signifikan dalam mencapainya. Bukan jaman nya lagi mempertontonkan bangunan oversize yang boros sumber daya, hanya demi estetika dan simbolisme.”
Keberlanjutan kehidupan dan peradaban membutuhkan sumberdaya. Sumberdaya perlu dikelola dengan cara yang bertanggung jawab agar kehidupan dan peradaban dapat terus berlanjut. Kata Sustainable mudah diucapkan namun hal ini merupakan upaya sistemik dan komprehensif multidisiplin yang harus dilakukan sejak penentuan dan perancangan tapak, pemilihan material bangunan, hingga merancang massa bangunannya agar menghasilkan nilai tambah dan estetika tinggi namun dengan sumberdaya konstruksi dan operasi serendah mungkin. “Saat ini kita sudah memiliki instrumen untuk menghitung kinerja khususnya dalam penurunan emisi yaitu metode NetZero. Langkah sistemik awal dimulai dari pengendalian diri (konsumsi utamanya energi) setelah itu baru dilanjutkan dengan pemanfaatan metode dan teknologi efisensi energi dan memaksimalkan penggunaan renewable energy. Upaya total NetZero tidak akan tercapai bila perilaku kita dan rancangan bangunan kita masih boros sumberdaya.” – ungkap Iwan Prijanto (Ketua Umum GBCI).
“Material bangunan yang sustainable adalah yang paling sedikit berasal dari mining/ penambangan tapi lebih banyak dari hasil penanaman yang berkelanjutan. Lahan lahan bekas tambang paling sedikit membutuhkan waktu restorasi selama 50 tahun. Selama itu pula lahan tersebut tidak dapat digunakan apalagi ditinggali karena sangat kontaminatif. Namun memang ada material material hasil penambangan yang sulit dihindarkan penggunaannya. Seperti kabel listrik, komponen-komponen elektronik, HVAC dan alat-alat transportasi dan sebagainya, yang harus menggunakan logam, khususnya tembaga. Tapi bayangkan kalau material tembaga ini hanya dipergunakan untuk dinding/selubung bangunan dalam jumlah yang masif? Niscaya ini suatu keputusan desain yang jauh dari mulia.” Tegasnya.
Ketua Umum IAP Hendricus Andy Simarmata menambahkan, “Kota yang baik adalah kota yang dibangun secara terencana agar berkelanjutan bagi generasi selanjutnya dan bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk lansia dan difabel. Bukan yang isinya hanya kumpulan bangunan megah seperti jaman Mesir Kuno. Kota harus vibrant dan membawa ciri khas urbanisme nusantara sebagai jiwa kota tersebut.”
“Dalam merencanakan kota, harus mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Ada sustainability index-nya. Pertama dan utama yang harus diperhatikan adalah lingkungan (alam), dimana harus sesuai dengan daya dukung, daya tampung lingkungan & resiliensi tempat ybs dan ada instrumen penilaiannya. Kedua adalah sosial budaya, memastikan pemerataan dengan beberapa indikator pembangunan sosial. Ketiga adalah ekonomi, memastikan lapangan kerja dan usaha berkelanjutan dan rendah emisi.” Lanjutnya.
“Where not to build adalah kaidah utama perencanaan, sehingga manusia dan struktur yang dibuatnya berada dalam harmoni dengan alam. Penataan ruang-ruang luar menjadi bagian penting dalam rangka menghadirkan lingkungan tempat warga hidup dan beraktifitas. Memulai pembangunan dalam skala sebesar IKN perlu dimulai dengan penataan lingkungan, terutama tata hijau dan birunya.” Dian Heri Sofian (Ketua Umum IALI) turut menyampaikan pendapatnya.
Sibarani Sofian (Ketua Umum IARKI) juga menyampaikan opininya, “Perumusan kota perlu dilakukan secara transparan dan inklusif dalam semangat kebersamaan dan kepedulian. Ruang binaan dan ruang alami akan dirajut oleh pelaku-pelaku dan pemangku kepentingannya, tetapi yang terpenting adalah manusia yang akan menghuninya. Karena itu, kota ini perlu dibangun dengan alam dan manusia sebagai fokus utamanya, bukan bangunan/ struktur/ kendaraan”
Harapan untuk IKN : Proses yang Utuh dan Taat Azas
Ibu kota Negara (IKN) Indonesia yang direncanakan dari nol, tentunya merupakan momentum sejarah untuk menghasilkan sebuah wajah kota Indonesia di masa depan, yang tidak hanya memenuhi fungsi-fungsi simbol Negara namun juga memenuhi tuntutan tren global perkotaan masa depan, yaitu cerdas (smart), berkelanjutan (sustain) dan berketahanan (resilient).
Hal ini selaras dengan yang disampaikan Ketua Umum IAI, Georgius Budi Yulianto, “Membangun IKN adalah kesempatan emas yang mungkin tidak akan terulang kembali. Tidak hanya untuk menciptakan National Buildings, tapi yang terpenting adalah Nation Building yang taat azas, dilakukan dengan proses yang benar, terbuka dan demokratis. Agar dari proses hingga hasilnya dapat menjadi role-model terbaik pembangunan kota-kota di Indonesia di masa depan.”
Ketua Umum IAP, Hendricus Andy Simarmata turut mengungkapkan harapannya, “Jika harus menempati kawasan hutan, sebuah kota harus dimulai dengan membuat standar dan panduan pembangunan yang cermat dengan melibatkan profesional-profesional lintas-disiplin dalam hal menentukan parameter luasan, ketinggian, social and enviromental safeguard, zoning regulation, building code, dan sebagainya. Kita berharap prosedur ini dicantumkan dalam UU agar kota tidak hanya sekedar produk tapi merupakan sebuah proses kolektivitas. Tidak hanya oleh pemerintah dan dunia usaha, tetapi juga para profesional dan masyarakat adat atau desa di lokasi tersebut sebagai partisipan aktif dalam pembangunan. Pemahaman terhadap standar dan panduan tersebut juga perlu didorong sebagai salah satu syarat kompetensi menjadi aparatur negara di kota baru, bukan hanya sekedar administrasi birokratif.”
Membangun peradaban kota selayaknya dilakukan seperti membesarkan anak yang perlu dilakukan dengan kehati-hatian, pertimbangan, kebijaksanaan, dan waktu yang lama. “Apabila dihadapkan pada 3 project trade off yang saling terkait : kualitas, waktu dan biaya, perlu kebijaksanaan untuk menentukan mana yang wajib menjadi prioritas. Kami berharap agar kualitas dapat diutamakan, karena kesempatan membangun kota hanya satu kali. Peradaban kota ini pun perlu lahir dan dibersarkan oleh orang tua yang kompak dan mencintainya. Tidak bisa dikerjakan oleh bidan-bidan yang hanya melakukannya sesuai tugas pokok dan fungsinya lalu setelah tugas selesai, tidak tentu kesinambungannya.” Sibarani Sofian (Ketua Umum IARKI) menyampaikan harapannya.
Sudah saatnya kita membangun peradaban kota yang transformatif :
· Hemat energi, berdampak lingkungan rendah, berkinerja tinggi VS bangunan besar dan megah yang boros energi
· Berbasis transport umum massal, pejalan kaki dan sepeda VS mobil pribadi
· Memiliki ruang terbuka hijau terventilasi dan sehat terekspos sinar matahari VS ruang indoor ber AC
· Ruang kerja yang kompak dan kolaboratif VS tersegmentasi dan berjarak
“Semua hal di atas merupakan target yang sangat tinggi, belum pernah diterapkan di Indonesia dan belum ada presedennya, karenanya perlu dilakukan dengan pendekatan ‘out of box’ dan dilakukan oleh ‘The A Team’, yang expert di bidangnya, tidak terlepas kerjasama dengan pihak terbaik dari domestik dan internasional.” tambah Sibarani Sofian (IARKI).
Rancangan arsitektur dan kota yang baik harus terkoordinasi, taat azas dan melalui proses uji publik. Seluruh proses perencanaan ini hendaknya tidak dilakukan secara tergesa-gesa dan terbuka satu sama lain antar pihak-pihak yang terkait. Sehingga akan didapat sebuah hasil rancangan Ibu Kota Negara yang terbaik dan sesuai dari segi kualitas, waktu dan biaya.
________________________________________
Untuk informasi selanjutnya dapat menghubungi :
Pengurus Nasional IAI
BADAN MEDIA PUBLIKASI & KEMITRAAN